Menyongsong Era “Shale Gas”
<p style="text-align: justify;"><span style="line-height:1.6">Tidak ada sumber energi yang mempengaruhi geo-politik dunia seperti minyak. Naik turunnya harga minyak selalu menjadi fokus utama dan menjadi acuan harga komoditas negara-negara di dunia. Mengingat fluktuasi harga minyak selama dekade terakhir, </span><em style="line-height:1.6">shale gas</em><span style="line-height:1.6"> menjadi salah satu alternatif sumber energi yang murah dan dekat dengan penggunanya.</span></p>
<p style="text-align: justify;">Sebelumnya, seperti dilansir dari <a href="http://www.oil-price.net/">www.oil-price.net</a>, para ahli memprediksi keberadaan gas alam cair (LNG) akan memberikan porsi sebesar 50% pada perdagangan gas internasional di 2025. Namun, dengan penemuan <em>shale gas</em> di Amerika, Inggris dan China, perkiraan tersebut telah berubah karena dihasilkan triliunan kaki kubik gas dari sumber-sumber bawah tanah di daerah tersebut. Di Amerika Utara saja dapat dihasilkan <em>shale g</em>as yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar daerah tersebut setidaknya untuk 40 tahun berikutnya. Eropa juga diperkirakan memiliki jumlah sumber daya<em>shale gas</em> yang besar untuk digunakan di wilayah tersebut.</p>
<p style="text-align: justify;"><em>Shale gas</em> adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan <em>shale</em> atau tempat terbentuknya gas bumi. Saat ini, untuk mendapatkan gas pada kedalaman 6.000 – 7.000 kaki (sekitar 2000an meter), cukup dilakukan dengan mendapatkan langsung batuan induknya (<em>shale</em>) yang berkualitas dan mengindikasikan gas, kemudian bor dan lakukan <em>fracturing</em> (melakukan perekahan lapisan batuan dengan pompa hidraulik yang bertekanan tinggi), dan produksi <em>shale g</em>as pun dapat dimulai.</p>
<p style="text-align: justify;">Metoda ini telah terbukti sejak tahun 1998, dengan dimulainya produksi gas di lapangan Newark East, North-Central Texas, yang hingga saat ini telah dibor sebanyak lebih dari 2.340 sumur dengan rata-rata kedalaman 6.500 kaki. Saat ini, Haynesville Shale yang membentang dari Texas ke Louisiana telah menghasilkan <em>shale gas</em> dengan biaya yang rendah, US$ 3 per mbtu. Jika dibandingkan dengan biaya produksi di Barnett Shale pada awal 1990-an, harganya telah turun sebesar US$ 2 per mbtu.</p>
<p style="text-align: justify;"><em>Shale Gas</em> di Indonesia</p>
<p style="text-align: justify;">Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi 4 wilayah yang memiliki cadangan <em>shale gas</em>. Empat wilayah tersebut yakni di Baong Shale, Telisa Shale, dan Gumai Shale di Sumatra,<em> shale gas</em> Papua, <em>shale gas</em> Jawa dan <em>shale gas</em> Kalimantan. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo menyatakan kesiapan Pemerintah untuk mengembangkan <em>shale gas</em> di Indonesia. “Untuk pengembanganya dibutuhkan waktu sekitar lima tahun,” kata Dirjen Migas beberapa waktu lalu.</p>
<p style="text-align: justify;">Cadangan <em>shale gas</em> yang dimiliki Indonesia cukup besar, kandunganya diprediksi cukup untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri untuk jangka panjang. Indonesia akan mencoba meniru Amerika Serikat yang menargetkan berhenti melakukan impor minyak tahun 2014 dengan cara mendorong pengembangan <em>shale gas</em>. Kementerian ESDM juga sedang menyiapkan aturan hukum untuk memfasilitasi pengembangan <em>shale gas,</em> dan ditargetkan pengembangan <em>shale gas</em> bisa dimulai tahun ini.</p>
<p style="text-align: justify;">Sumber: http://esdm.go.id</p>
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!